BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan di dunia ini, banyak
sekali kebuuhan yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup diantaranya
adalah kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan yang
menyangkut kebutuhan fisik misalnya makn minum, pakaian dan lain sebagainya,
sedangkan kebutuhan jasmani adalah kebutuhan yang menyangkut ruh (jiwa),
contohnya adalah ibadah, olahraga, rekreasi dan pendidikan.
Kebutuhan
rohani diantaranya adalah tentang agama, agama adalah salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan rohani seperti ibadah, jika kebutuhan ini tidak dipenuhi
maka akan terjadi ketimpangan dalam menjalankan kehidupannya didunia ini.
Agama
di dunia ini dibagi menjadi dua menurut asal mulanya yaitu agama samawi dan
duniawi, agama samawi adalah agama yang dari langit maksudnya adalah bahwa
agama itu ada dimulai dengan turunnya wahyu, dan berbeda dengan agama duniawi
yang mempercayakan kepada hal-hal yang berbau animisme dan dinamisme yang
dibawa oleh nenek moyang mereka.
Agama
samawi diantaranya adalah agama islam, nasrani (Kristen), majusi (yahudi),
sedangkan agama duniawi adalah agama yang menyembah hal-hal dinamismee dan
animisme diantaranya adalah agama budha, Hindu, dan konghuchu.
Agama
yang kita anut sendiri yaitu islam adalah temasuk agama samawi karena ajaran
islam adalah ajaran yang dibawa oleh Rasulallah MuhamadS.A.W dari Allah S.W.T
yang mengajarkan tentang tauhidullah seperti yang diajarkan nabi-nabi
sebelumnya tapi ajaran setiap ajara yang dibawa nabi-nabi dan utusan Allah
adalah sama dalam hal aqidah tapi berbeda satu sama lain dalam masalah syariat.
Syariat
ajaran islam itu sendiri adalah penyempurna dari syariat ajaran
sebelumnya, dialalm syriat agama islam
ada yang berasal dari syriat sebelumnya yang masih dipakai contoh khitan, tapi
juga ada syariat baru yang terbentuk khusus pada umat Muhamad S.A.W
Agama
islam sendiri menuntut setiap penganut ajarannya (muslim) untuk masuk kedalam
ajaran islam secara sempurna baik itu menjalankan ibadah dan juga melaksanakan
syariat yang telah ditentukan untuknya, sebagaiman firma Allah dalam Qs al-baqarah
ayat 208 yang berbunyi
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Agama
islam sendiri dibangun melalui pondasi-pondasi, diantarnya adalah arkanulislam
(rukun islam) yaitu shahadat, shalat, zakat, shaum (puasa) dan haji bagi yang
mampu), Tapi juga dalam masalah muamalah. Dan dalam menjalankan semua arkanul
islam ini haruslah berdasarkan hukum/ dalil-dalil syar’i.
Dari
latar belakang diatas maka penulis memilih judul ini yaitu islam, hukum dan aspek ajaranya untuk mengetahui agama islam
secara lebih mendalam yang dilihat dari paradigma hukum dan aspek ajarannya
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
Ø
Apa itu Definisi islam?
Ø
Dlil-dalil syar’i apa
sajakah yang bisa untuk menjadi dasar
hukum dalam islam?
Ø
Bagaiman dan apa sajakah
Aspek ajaran islam?
Ø
Sebutkan Nilai-nilai ajaran
islam?
Ø
Bagaimankah Sejarah islam?
C. Pembatasan Masalah
Dari rumusan masalah diatas dapat
kita batasi untuk membahas makalah ini adalah:
Ø
Apa itu Definisi islam?
Ø
Dlil-dalil syar’i apa
sajakah yang bisa untuk menjadi dasar
hukum dalam islam?
Ø
Bagaiman dan apa sajakah
Aspek ajaran islam?
D. Tujuan Makalah
Tujuan dibuatnya makalah ini secara
umum adalah:
Ø
Untuk memberikan pemahaman
yang lebih mendalam agama islam
Ø
Untuk mengetahui
dalil-dalil syar’i yang bisa untuk menjadi dasar hukum
Ø
Untuk mengetahui aspek
ajaran islam
Adapun
tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah:
Ø
Memenuhi tugas mata studi
isalm
Ø
Menambah wawasan dan
pengetahuan bagi penulis sendiri
Ø
Mendapatkan ilmu lebih
dalam pembuatan makalah ini seperti ilmu komputer dan internet.
E. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulis ini secara umum adalah sebagai berikut Sebagai sarana wadah informasi tentang islam
yang dilihat dari aspek dan dasar hukumnya bagi msyarakat umum pada umumnya dan
mahasiswa dan mahasiswi jurusan asuransi syariah pada khususnya.
Manfaat yang didapat dari peneltian ini secara khusus adalah sebagai
berikut
1. Mendapatkan nilai tambahan dalamstudi islam.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis sendiri.
3. Menambah dan melatih kerjasama antar anggota kelomok
F. Metode
Metode yang digunakan penulis dalam pembuatan makalah metode pustaka
dan internet serta pengetahuan
penulis sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam
1.
Definisi islam
Islam menurut bahasa
artinya adalah pasrah, sedangkan menurut istilah Islam adalah agama yang dibawa
oleh nabi Muhamad yang mengajarkan tauhidullah seperti nabi-nabi sebelumnya
sebagai penyempurna agama sebelumnya
Islam (Arab: al-islām, الإسلا "berserah diri
kepada Tuhan")
adalah agama
yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang
pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di
dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki arti "penyerahan", atau
penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: الله, Allāh). Pengikut
ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang
berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya
adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan
bahwa Allah
menurunkan firman-Nya
kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan
meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad
adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
2. Lima Rukun Islam
Islam
memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk
memegang Lima Rukun
Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah
komunitas. Tambahan dari Lima Rukun, hukum Islam
(syariah) telah membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada
hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya
dari hal praktikal seperti kehalalan, perbankan,
jihad
dan zakat
Isi dari kelima Rukun Islam itu
adalah:
- Mengucap dua
kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak
ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad
adalah hamba dan rasul Allah.
- Mendirikan
salat
wajib lima kali sehari.
- Berpuasa
pada bulan Ramadan.
- Membayar zakat.
- Menunaikan ibadah haji
bagi mereka yang mampu.
3. Enam Rukun Iman
Muslim juga mempercayai Rukun Iman
yang terdiri atas 6 perkara yaitu:
- Iman kepada Allah
- Iman
kepada malaikat
Allah
- Iman
kepada Kitab Allāh (Al-Qur'an,
Injil,
Taurat,
Zabur
dan suhuf)
- Iman
kepada nabi
dan rasul
Allah
- Iman
kepada hari kiamat
- Iman kepada qada
dan qadar
B. Hukum Islam
1.
Definisi hukum
Hukum islam menurut
bahasa artinya menetapkan sesuatu atas yang lain.sedangkan menurut syara adalah
firman pembuat syara (syar’i) yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa
(mukalaf), firman mana mengandung tuntutan membolehkan sesuatu atau menjadikan
sesuatu sebagai adanya yang lain.
2.
Pembagian hukum islam
a.
Hukum taklifi “memberikan beban
atau tuntutan”
Dan hukum ini dibagi menjadi 5 yaitu
1.
Ijaab
2.
Nadb(anjuran)
3.
Fahrim
4.
Karahah
5.
Ibahah
b.
Hukum wadh’i
Adalah firman yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabah), atau sebagai
syariat yang lain (masyrut) atau sebagai penghalang (amni’) adanya yang lain hukum
ini dibagi menjadi tiga yaitu sabab, syarat dan mani’.
3.
Sumber
Hukum Islam
Pembahasan sumber-sumber
Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber
itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan
sumber Syariat Islam harus berdasakan ketetapan yang qath'i (pasti)
kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni). Allah SWT berfirman :
"(Dan) janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya." (QS
Al-Isra'36)
"(Dan) kebanyakan mereka
tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka.
Sesung- guhnya persangkaan itu tidak sedikitpun bergu- na untuk mencapai
kebenaran."(QS Yunus 36)
Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul),
sebab menjadi dasar bagi seorang muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-
hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka seluruh hukum-
hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Karenanya menetapkan sumber syariat Islam
tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka.
Dengan demikian maka yang memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar'i adalah Al-Qur'an,
Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas yang disepakati oleh seluruh ulama
A. Hukum yang disepakati secar mutlaq
a. Al-quran
Secara etimologis,
Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau
qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al
dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara
teratur 3. Dikatakan Al Qur’an karena ia berisikan intisari
dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa
Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca
berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari
kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat
juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18
Surah
Al-Qiyamah yang artinya(3)
“Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
Secara istilah al-quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada
nabi Muhamad S.A.W melalui perantara malikat jibril yang diriwayatkan secara
mutawatir serta ibadah jika membacanya. Ada beberapa Nama lain Al-Qur'an diantaranya
|
|
Secara garis besar
hukum-hukum yang ada didalam Al-quran adalah bersifat umum (kulli) tidak
membicarakan hal-hal yang kecil (
juz’i). didalam al-quran terdapat beberapa isi kandungan selain hukum yaitu
janji dan ancaman, tauhidullah, ibadah, kisah-kisah umat terahulu dan
lain-lain, dan hukum dalam al-quran dapat dibagi menjadi dua yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
tuhannya (hablumminallah) dan hubungna yang mengatur sesama manusia
(habluminnanas).
b.
Al-Hadits/Sunnah
Hadits adalah segala perkataan
(sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas,
dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an.
Ada
banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi
hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu
Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada
bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
·
Hadits
yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
o Hadits Mutawatir
o Hadits Ahad
§ Hadits Shahih
§ Hadits Hasan
§ Hadits Dha'if
·
Menurut
Macam Periwayatannya
o Hadits yang bersambung sanadnya (hadits
Marfu' atau Maushul)
o Hadits yang terputus sanadnya
§ Hadits Mu'allaq
§ Hadits Mursal
§ Hadits Mudallas
§ Hadits Munqathi
§ Hadits Mu'dhol
·
Hadits-hadits
dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o Hadits Maudhu'
o Hadits Matruk
o Hadits Mungkar
o Hadits Mu'allal
o Hadits Mudhthorib
o Hadits Maqlub
o Hadits Munqalib
o Hadits Mudraj
o Hadits Syadz
Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu
hadits
A.
Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad
SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin
(orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan
Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad
hadits itu adalah perawi juga.
B.
Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW,
maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau
berupa taqrirnya.
C.
Perawi
Yaitu orang yang
meriwayatkan hadits.
c. Ijtihad
Ijtihad adalah
sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa
saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak
dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa
ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan
ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah
di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu
Fungsi
Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran
maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran
dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam
dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu
tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut
dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut
harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau
Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka
umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad
adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist, jenis-jenis ijtihad
1. Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam
menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam
suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para
ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil
dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai
aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan
Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
- Beberapa definisi qiyâs (analogi)
- Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada
cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
- Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif
lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
- Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada
penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang
memiliki persamaan sebab (iladh).
B. Hukum yang masih menjadi perdebatan
1.
Istishhab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari
sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap
berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai
ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan
tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum
tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap
berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum
adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan
menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada
masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa
istishab itu ialah:
- Segala hukum yang telah
ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang,
kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
- Segala hukum yang ada pada
masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan
B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15
tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C.
Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali
perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun
mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu
tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan
istishab.
Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul
istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap
berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau
yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan
sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang
lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan
si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu
keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang
halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya
istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada,
bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau
dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan
bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang
Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya)
berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
“pada asalnya hukum
segala sesuatu itu boleh.”
“manusia pada
asalnya adalah bebas dari beban.”
“apa yang telah
ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia
tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan atau
mengekalkan kondisi sebelumnya
2.
Istihsan
Secara Etimologi
Istihsan berarti, “ “Menyatakan dan meyakini baik sesuatu”. Ulama
sepakat tentang pengertian istihsan, karena lapaz istihsan banyak terdapat
dalam Al-Quran dan Hadits Az-Zumar : (39) ayat 18
Orang yang mendengarkan
perkataan,lalu mengikuti apa yang paling di antaranya.
Al-Bazdawii
(Hanafi) Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas
kepada Qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas Berdasarkan dalil yang
lebih kuat” Istihsan merupakan
hujjah dalam syari’ah”. As-Sarakhsy (Hanafi) Istihsan ialah meninggalkan qiyas
dan mengamalkan Yang lebih kuat, karena
adanya dalil yang menghendaki Serta
lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat. Al-Ghazali (Syaf’iy) Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh
mujtahid menurut akalnya” Secara umum tidak mengakui istihsan, bahkan
Imam Syafii menolak dengan keras”. Ibnu Qudamahi (Hanbali) Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum Karena adanya dalil tertentu
dari Al-Quran dan Sunnah. Asy-Syatibi
(Maliki) Istihsan ialah pengambian suatu
kemaslahatan Yang bersifat juz’iy dalam
menanggapi dalil Yang bersifat global” Menurut Asy-Syatibi Ulama dari Malikiyah
Istihsan adalah dalil yang kuat sebagai
metode Istimbath hokum”. Al-Karkhi (Hanafi) Perbuatan adil terhadap suatu
permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang
lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
3.
Mashlahah mursalah
Maslahah Mursalah ialah
suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menyuruhnya dan tidak ada dalil
yang menolaknya, tetapi ia mengandung kebajikan/manfaat. Maslahah dibag
menjadibeberapa bagian yaitu
1.Maslahah Mu’tabarah “Ada dalil tafshili
yang mendukung/menyuruhnya,Seperti shalat,zakat dll,Syariat qishash,Nikah,
bersedeqah,Tolong-menolong Dalam ketaqwaan”
2.Maslahah
Mulghah “Ada dalil tafshili yang
menolak/melarangnya,Seperti riba (2:275) suap (2:180),Minum khamar (5:90)Makan
bangkai (5;3)Berkata “ah” pada Orang tua (17:23)”
3.Maslahah
Mursalah “Tidak ada dalil Tafshili yang
menyuruh atau menolaknya Seperti membuat penjara,membuat bank
syari’ah&LKS,Mendirikan RS,Media massa IslamTV Islam”
4.
Al-ur’f
Urf
adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang sudah dikenal
manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
Dikalangan masyarakat sering disebut sebagai adat.Urf mencakup sikap saling
pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka.Contoh
urf : adanya saling pengertian tentang sahnya jual beli tanpa mengucapkan
shigat, seperti di super market.
Macam-macam Urf
1.
Urf shahih ialah sesuatu yang
telah dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak
menharamkan yang halal dan membatalkan yang wajib.
2.
Urf fasid ialah sesuatu yang telah dikenal oleh manusia, tetapi
bertentangan dengan syara’ atau tidak mengharamkan yang halal dan membatalkan
yang wajib .
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus
memelihara urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para
ulama juga menyepakati bahwa urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan
dan penetapan hukum. Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah
tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi
hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Hanafiyah juga banyak menerapkan úruf dalam menetapkan hukum Islam,
seperti bay’ wafa.(Jual Beli Wafa’)
5.
Syaru man qabalana
Bentuk syar`u man qablana
1. Syariat yang ditentukan bagi umat terdahulu bagi umat sebelum
kita,tapi al-qur`an tidak melarang/memrintahkannya,maka syariat itu tetap
berlaku
2. Syariat yang ditentukan untuk umat tedahulu ,dan dinyatakan
tidak berlaku bagi umat muhammad ,maka tidak berlaku
3. Syari`at yang ditentukan untuk umat trdahulu dan alqur`an atau
hadis menerangkannya berlaku pada kita, maka berlaku
6.
Madzhab shahabi
Merupakan pendapat
sahabat yang tidak menjadi hujjah ( alasan ) atas sahabat lainnya. Hal ini
sudah disepakati, namun yang menjadi perdebatan adalah apakah pendapat sahabat
ini bisa menjadi hujjah atas tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Dalam hal
ini ada tiga pendapat :
Pertama : tidak
menjadi hujjah sama sekali. Demikianlah pendapat Jumhur. Perkataan seorang
mujtahid bukanlah suatu dalil yang dapat berdiri sendiri.
Kedua : menjadi
hujjah dan didahulukan daripada qiyas. Yaitu pendapat Imam Malik, golongan Hanafiyah,
dan Syafi’i.
Ketiga : menjadi
hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas.
Jadi, secara ringkas pendapat sahabat
tidak menjadi hujjah.
7.
Dalalah iqtiran
Merupakan dalil yang
menunjukkan bahwa sesuatu sama hukumnya dengan yang lainnya karena disebut
bersama-sama.
8.
Sadduddzara’i/Saddus Zari’ah
Secara
bahasa, dzariah adalah “jalan menuju sesuatu” Sesuatu jalan yang dapat
mengakibatkan pada hal-hal yang tercela atau yang dilarang dinamakan “sadd
dzari’ah” yang artinya melarang atau menolak hal tersebut untuk dilakukan. Sesuatu
jalan yang dapat mengakibatkan pada hal-hal yang terpuji dinamakan fath
adz-dzari’ah yang artinya dianjurkan untuk dilakukan. Namun banyak ulama ushul
yang memasukkannya pada kategori tindakan pendahuluan sesuatu perbuatan.
Pengertian sadd dzari’ah menurut asy-Syatibi :
melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada
suatu kerusakan (kemafsadatan).
Dzari’ah dari
segi kualitas kemafsadatannya terdiri dari empat macam :
1. perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti,
misalnya menggali sumur didepan rumah orang pada waktu malam sehingga
mengakibatkan orang yang punya rumah jatuh kedalam sumur tersebut.
2. perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan,
misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
3. perbuatan yang dilakukan yang kemungkinan besar akan membawa
kemafsadatan, seperti menjual senjata kepada musuh.
4. perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakkan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti jual beli
dengan harga lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan
Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
1. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum
minuman keras yang mengakibatkan terjadinya mabuk.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi
dijadikan sebagai jalan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang haram, baik
disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi wanita yang ditalak tiga dengan
tujuan agar wanita tersebut dapat menikah kembali kepada suaminya yang pertama.
Ulama
malikiyah dan hanabillah dapat menerima sadd dzari’ah sebagai dalil syara’
dengan alasan : surat al-An’am ayat 108 dan hadits rasul saw. Sedangkan ulama
hanafiyah, syafi’iyah, dan syi’ah dapat menerimanya sebagai dalil syara’ hanya
dalam masalah-masalah tertentu saja Menurut
husain hamid guru besar fakultas hukum kairo, ulama hanafiyah dan syafi’iyah
dapat menerima sadd dzari’ah jika kemafsadatan yang akan muncul benar-benar
akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar akan terjadi
C.
Aspek Ajaran Islam
Untuk
lebih jelasnya maka kita akan membahas lebih dalam mengenai ketiga aspek ajaran
Islam di bawah ini. Mengenai akidah, syari’ah dan akhlak.
1.
Aspek Aqidah
Akidah adalah sesuatu yang dianut oleh manusia dan diyakininya baik
berwujud agama dan yang lainnya.
Aqidah (kepercayaan) itu adalah sesuatu hal yang pertama-tama yang
diserahkan oleh Rasulullah dan yang dituntutnya dari manusia untuk dipercayai
dalam tahapan pertama daripada tahapan-tahapan dakwah Islamiyah dan yang
merupakan pada seruan setiap Rasul yang diutus oleh Allah swt.
Aqidah
secara etimologi berarti ikatan atau sangkutan. Dan secara terminologi berarti creedo,
creed yaitu keyakinan hidup. Iman dalam arti yang khusus, yakni pengikraran
yang bertolak dari hati. Bentuk jamaknua ‘aqaid atau ma’rifat,
ilmu ushuluddin, ilmu kalam, ilmu hakikat dan ilmu tauhid
Sayid Sabiq mengemukakan bahwa
pengertian keimanan atau aqidah itu tersusun dari enam perkara yaitu:
1. Ma’rifat kepada
Allah
2. Ma’rifat dengan
Alam yang ada dibalik alam semesta ini.
3. Ma’rifat dengan
kitab-kitab Allah
4. Ma’rifat dengan
Nabi-nabi serta Rasul-rasul Allah.
5. Ma’rifat dengan
hari akhir.
6. Ma’rifat dengan takdir.
2.
Aspek Syariah
Syariat adalah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah atau
yang diciptakan pokok-pokoknya di dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan
saudara sesama muslim, dengan saudara sesama manusia, dengan alam dan
hubungannya dengan kehidupan.
Cara
untuk mengadakan hubungan tersebut adalah:
a. Cara
manusia berhubungan dengan Tuhan
b. Cara
manusia berhubungan dengan sesama muslim
c. Cara
manusia berhubungan dengan saudara sesama manusia
d. Cara
manusia berhubungan dengan alam
e. Cara manusia berhubungan
dengan kehidupan.
Syari’ah pada asalnya bermakna “jalan yang lempeng” Pengertian
syari’ah yang sering dipakai dikalangan para ahli hukum, ialah “Hukum-hukum
yang diciptakan oleh Allah SWT untuk segala hambaNya agar mereka itu
mengamalkannya untuk kebahagiaan dunia akhirat, baik hukum-hukum itu bertalian
dengan perbuatan, aqidah dan akhlak”.
3.
Aspek Akhlak
Akhlak ialah suatu gejala kejiwaan yang sudah
meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
tanpa mempergunakan pertimbangan terlebih dahulu. Apabila yang timbul
daripadanya adalah perbuatan-perbuatan baik, terpuji menurut akal dan syara’
maka disebut akhlak baik, sebaliknya apabila yang timbul dari padanya adalah
perbuatan yang jelek maka dinamakan akhlak yang buruk.
Dalam menjalankannya sebaiknya berpedoman
kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Secara garis besarnya menurut sifatnya terbagi
kepada dua yakni akhlak terpuji dan akhlak tercela. Dari segi bentuknya kahlak
dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
a.
Akhlak kepada Allah
b.
Akhlak terhadap manusia
c.
Akhlak terhadap makhluk-makhluk lain.
Masalah-masalah pokok yang menyangkut akhlak, menurut
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin ialah:
a)
Hikmah yakni kemampuan jiwa untuk membedakan yang benar dari yang salah
dalam segala perbuatan yang ada di bawah kekuasaan manusia.
b)
Keadilan yakni kemampuan jiwa untuk mengendalikan daya (kekuatan),
marah, dan daya nafsu serta mendorongnya kepada tuntunan hikmah dengan membatsi
gerak-geriknya.
c)
Syaja’ah yakni keadaan daya gadlah yang tunduk dan taat
kepada akal dalam semua gerak maju dan mundurnya.
d)
Iffah yakni keadaan daya nafsu terpimpin dan terdidik
dengan pendidikan dan pimpinan akal dan agama.
1. Prinsip-prinsip Aqidah dan Akhlak
a.
Aqidah yang didasarkan atas tauhid, yaitu mengesakan Allah dari segala
dominasi yang lain. Prinsip at-Tauhid tidak juga mempertentangkan antara dunia
dengan akhirat. Oleh sebab itu prinsip at-Tauhid harus ditopang dengan lima
komitmen, yaitu:
Ø Memiliki
komitmen utuh kepada Tuhan dan menjalankan pesanNya.
Ø Menolak
pedoman hidup yang bukan berasal dari Tuhan.
Ø Bersikap
progresif dengan selalu menekan penilaian kualitas hidup adapt istiadat,
tradisi, dan faham hidup.
Ø Tujuan
hidupnya amat jelas, yaitu semua aktivitas hanya untuk Allah semata. Dijelaskan
dalam Q. S. Al-An’Am
“Katakanlah:
Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam”.
Ø Memiliki
visi yang jelas dengan manusia lain, sehingga terjalin keharmonisan antara
manusia dan Tuahannya, dengan lingkungan di sekitarnya.
b.
Aqidah harus dipelajari secara terus menerus (Continue) dan
diamalkan hingga akhir hayat dan di dakwahkan kepada yang lain. Sumber aqidah
Allah yakni Dzat yang Maha Benar. Oleh sebab itu dalam mempelajari aqidah harus
melalui wahyuNya. Qs. Al-Isra: 36
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya”.
c.
Scope pembahasan aqidah tentang Tuhan dibatasi dengan larangan
memperbincangkan dan memperdebatkan tentang eksistensi Dzat Tuhan, sebab dalam
satu hal ini manusia tidak akan pernah mampu menguasai.
d.
Akal dipergunakan manusia untuk memperkuat aqidah, bukan untuk mencari
aqidah, karena semua telah jelas dalam al-Quran dan al-Hadits.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang sangat
memperhatikan umatnya baik itu dari segi hukum dan segala aspeknya, semuanya
diatur secara teratur sehingga syariat islam tidak menyulitkan umatnya.
B. SARAN
Saran penulis dengan tidak ada maksud
menggurui adalah alangkah baiknya jika setiap muslim dan muslimah menaati
setiap syari’at islam yang tertera dalam hukum-hukum islam dan aspek ajaran
yang terkandug dalam agama islam
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa dan wahid, abdul. 2008. Hukum islamkontemporer. Jakarta: Sinar
grafika
Djalil, basiq. 1980. Ushul fiqih. semarang: thoha putra
Syarifudin, amir. 2008. Ushul fiqih. Jakarta: Kencana
Daud, ali. 1990. Hukum islam. Jakarta: PT radja gafindo persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar